Negara
menetapkan pemberlakuan hukum dan peraturan yang sering kali bersifat
pemaksaan, sehingga membatasi warga negara untuk memilih dan bertanggung
jawab atas pilihannya sendiri. Kaum anarkis berkeyakinan bila dominasi
negara atas rakyat terhapuskan, hak untuk memanfaatkan kekayaan alam dan
sumber daya manusia akan berkembang dengan sendirinya. Rakyat mampu
memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri tanpa campur tangan negara.
Namun,
kaum punk menyadari sepenuhnya bahwa ideologi anarkisme, seperti yang
pernah dikatakan Lenin, adalah paham yang naif milik para pemimpi dan
orang-orang putus asa. Mereka menyadari ideologi ini sulit dikembangkan
karena masyarakat masih membutuhkan negara untuk mengatur mereka.
Kaum
punk memaknai anarkisme tidak hanya sebatas pengertian politik semata.
Dalam keseharian hidup, anarkisme berarti tanpa aturan pengekang, baik
dari masyarakat maupun perusahaan rekaman, karena mereka bisa
menciptakan sendiri aturan hidup dan perusahaan rekaman sesuai keinginan
mereka. Punk etik semacam inilah yang lazim disebut DIY (do it
yourself/lakukan sendiri).
Punk Indonesia….
29 01 2008
Berbekal etika DIY, beberapa scene punk di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Malang merintis usaha rekaman dan distribusi terbatas. Mereka membuat label rekaman sendiri untuk menaungi band-band sealiran sekaligus mendistribusikannya ke pasaran. Kemudian usaha ini berkembang menjadi semacam toko kecil yang lazim disebut distro.
CD dan kaset tidak lagi menjadi satu-satunya barang dagangan. Mereka juga memproduksi dan mendistribusikan t-shirt, aksesori, buku dan majalah, poster, serta jasa tindik (piercing) dan tato. Seluruh produk dijual terbatas dan dengan harga yang amat terjangkau. Dalam kerangka filosofi punk, distro adalah implementasi perlawanan terhadap perilaku konsumtif anak muda pemuja Levi’s, Adidas, Nike, Calvin Klein, dan barang bermerek luar negeri lainnya.
Georg Lukacs, seorang pemikir sosialis dari Jerman, menertawakannya sebagai sikap hands off kaum avant-gardis yang memilih untuk melarikan diri dari tanggung jawab kolektif memperbaiki kebobrokan sistem. Dengan kata lain, pengakuan atas eksistensi diri akan didapat dengan sendirinya apabila kaum punk mampu mengakui eksistensi masyarakat dan lingkungan sekitarnya.
Tidak seperti heavymetal misalnya, punk lebih mengutamakan pelampiasan energi dan curhat daripada aspek teknis bermain musik. Pokoknya nggak usah jago-jago amat, pokoknya oke dan yang namanya unek-unek bisa keluar. Asal tahu aja, almarhum Sid Vicious dari Sex Pistols itu terkenal nggak bisa main. Tapi orang toh nggak memandang remeh dia. Malah dianggap cool.
Sex Pistols dan The Clash memasukkan aspek baru dalam perkembangan punk, yaitu protes sosial dan politik. Kedua grup ini menjadi penyambung lidah kaum muda Inggris yang frustasi. Mulailah mereka menyuarakan protes terhadap segala ketidakadilan yang mereka lihat sehari-hari. Cuma saja pendekatan mereka berbeda, sesuai latar belakang kehidupan masing-masing.
Berbekal etika DIY, beberapa scene punk di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Malang merintis usaha rekaman dan distribusi terbatas. Mereka membuat label rekaman sendiri untuk menaungi band-band sealiran sekaligus mendistribusikannya ke pasaran. Kemudian usaha ini berkembang menjadi semacam toko kecil yang lazim disebut distro.
CD dan kaset tidak lagi menjadi satu-satunya barang dagangan. Mereka juga memproduksi dan mendistribusikan t-shirt, aksesori, buku dan majalah, poster, serta jasa tindik (piercing) dan tato. Seluruh produk dijual terbatas dan dengan harga yang amat terjangkau. Dalam kerangka filosofi punk, distro adalah implementasi perlawanan terhadap perilaku konsumtif anak muda pemuja Levi’s, Adidas, Nike, Calvin Klein, dan barang bermerek luar negeri lainnya.
Georg Lukacs, seorang pemikir sosialis dari Jerman, menertawakannya sebagai sikap hands off kaum avant-gardis yang memilih untuk melarikan diri dari tanggung jawab kolektif memperbaiki kebobrokan sistem. Dengan kata lain, pengakuan atas eksistensi diri akan didapat dengan sendirinya apabila kaum punk mampu mengakui eksistensi masyarakat dan lingkungan sekitarnya.
Tidak seperti heavymetal misalnya, punk lebih mengutamakan pelampiasan energi dan curhat daripada aspek teknis bermain musik. Pokoknya nggak usah jago-jago amat, pokoknya oke dan yang namanya unek-unek bisa keluar. Asal tahu aja, almarhum Sid Vicious dari Sex Pistols itu terkenal nggak bisa main. Tapi orang toh nggak memandang remeh dia. Malah dianggap cool.
Sex Pistols dan The Clash memasukkan aspek baru dalam perkembangan punk, yaitu protes sosial dan politik. Kedua grup ini menjadi penyambung lidah kaum muda Inggris yang frustasi. Mulailah mereka menyuarakan protes terhadap segala ketidakadilan yang mereka lihat sehari-hari. Cuma saja pendekatan mereka berbeda, sesuai latar belakang kehidupan masing-masing.






Tidak ada komentar:
Posting Komentar